01 - Cerita anak kampung menjadi programmer
Cerita panjang perjalanan hidup dan karir saya sampai bisa menjadi programmer di beberapa peruasahaan teknologi besar di Indonesia.
Cerita ini saya pecah menjadi beberapa bagian dikarenakan lumayan panjang untuk dijadikan satu artikel. Baca keseluruhan ceritanya pada tautan berikut:
- Bagian 1 - Cerita anak kampung menjadi programmer - kamu disini
- Bagian 2 - Cerita buruh menjadi programmer
- Bagian 3 - Cerita saya menjadi programmer
Tulisan ini saya persembahkan bagi mereka yang sedang belajar menjadi Programmer atau Software Engineer, bagi mereka para newbies, bagi mereka para fresh-grad yang seringkali mengeluhkan betapa susahnya belajar mengenai programming.
👶 Saya Anak Kampung
Saya bukanlah orang yang lahir dan dibesarkan di kota besar dimana berbagai teknologi terbaru bisa dicicipi dengan mudah dan gampang, termasuk juga dengan komputer dan hal keren lainnya. Saya lahir dan dibesarkan di kota Pemalang (ya, ada imbuhan Pe di depan malang 😉). Kalau ada yang pernah dengar lagu dengan lirik begini “Wiiiduriiiii, elok bagai rembulaaan… oh sayang.” (*tonton di youtube), yap tempat itu ada di Pemalang 😱.
Pemalang memang gak se-“kampung” kampung pedalaman lainnya, tapi Pemalang juga terdiri dari banyak sekali desa, yang banyak diantaranya ya cukup “pedalaman”. Cerita di balik orang-orang yang hidup di dalamnya ya gak jauh beda sama orang-orang pedesaan atau perkotaan kecil pada umumnya.
👩🏫 Saya Sekolah di Kampung
Dibesarkan di kota kecil seperti Pemalang akhirnya membuat saya juga bersekolah dari SD sampai tamat SMK di kota ini. Bersekolah di kota kecil sangat berbeda dengan bersekolah di kota besar, apalagi dengan gambaran bersekolah yang dipertontonkan oleh berbagai sinetron jaman sekarang 😭. Di desa saya sendiri Bantarbolang, masih banyak anak yang tidak dapat bersekolah atau hanya bisa sekolah cuma sampai SD atau SMP yang tentunya sebagian besar memang karena terbentur biaya untuk bersekolah. Jadi tentu, mereka yang bisa bersekolah sampai tingkat SMA dan sederajat, sudah akan sangat bersyukur.
Mundur lebih jauh lagi, sedari kecil saya tidak pernah merasakan sekolah TK dan langsung masuk ke SD karena pada saat itu hanya anak-anak guru dan anak-anak orang “mampu” yang dapat bersekolah di TK, sisanya bisa sekolah SD pun sudah cukup bagus. Namun meskipun saya tidak sekolah TK, tidak menjadikan saya ketinggalan dibandingkan teman-teman lain yang bersekolah TK sebelumnya. Saya bersekolah di SD Negeri terdekat dari rumah saya. Hanya butuh berjalan kaki sekitar 10 menitan untuk menjangkau tempat tersebut. Dari SD saya selalu mendapat peringkat yang cukup baik di dalam kelas meskipun hampir tidak pernah menjadi yang terbaik, tapi paling tidak, peringkat 10 besar tidak akan pernah saya lewatkan. Hal ini bisa jadi tidak berkaitan langsung dengan apa yang akan terjadi di masa depan, karena lingkupnya juga kecil kan, masih satu kelas di SD, isinya juga tetangga-tetangga sendiri aja. Namun hal ini setidaknya menunjukkan bahwa sedari kecil, dibandingkan dengan tetangga-tetangga saya yang seumuran, ya saya tidak bodo-bodo amat lah ya.
Beranjak ke SMP, saya memilih bersekolah di SMP Negeri yang kebetulan masih terletak di desa saya dan mungkin hanya butuh sekitar 20-30 menit untuk berjalan kaki. Lebih jauh tentunya dari lokasi SD sebelumnya, tapi saya termasuk masih cukup beruntung karena banyak teman sekelas saya yang berasal dari desa yang lebih jauh pedalaman dibandingkan tempat saya. Tidak sedikit yang setiap hari harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk sampai ke sekolah, ada yang menggunakan sepeda, bus umum bahkan kendaraan kecil dengan bak terbuka untuk sarana antar jemput mereka ke sekolah. Faktanya jumlah SMP tidak sebanyak SD yang biasanya di masing-masing desa memilikinya. Cuma selevel kecamatan yang biasanya mempunyai sekolah selevel SMP. Jadi kalau bahas soal perjuangan dalam bersekolah, temen-temen saya ini telah berjuang dengan jauh lebih keras dibandingkan saya. Mereka jelas jauh lebih tangguh dibandingkan saya, mereka mampu bertahan dalam kesusahannya mencapai sekolah selama 3 tahun paling tidak. Semangat mereka untuk menempuh perjalanan jauh untuk bersekolah, mungkin tidak akan bisa saya samai pada masanya. Saya tidak akan paham dengan kesukaran yang mereka hadapi tiap hari.
Setelah selesai SMP, saya diberikan kemampuan untuk bersekolah lebih lanjut ke tingkat SMA. Tentu ini hal yang mewah buat saya, seperti juga bagi kebanyakan orang di desa saya pada masanya, akan merasa sekolah SMA adalah hal yang mewah. Sebagai anak yang dibesarkan di keluarga yang sederhana, saya sudah bisa menempatkan diri di mana sekolah yang kira-kira orang tua saya masih sanggup untuk membiayainya.
Bersekolah sampai tingkat SMA di kota kecil seperti Pemalang, memang tidak sama dengan kalian yang bersekolah di tingkat yang sama di kota besar. Jelas bukan karena kami bodoh-bodoh, saya punya teman-teman dari kampung yang pasti bisa diadu pengetahuannya dengan mereka yang lulusan kota besar. Namun memang faktanya kita juga tidak bisa menafikkan, bahwa di Indonesia masih terjadi banyak ketimpangan di dunia pendidikan antara daerah yang termasuk kota besar dengan daerah yang lebih kecil. Ada banyak sekali fasilitas wajib maupun penunjang pendidikan yang tidak dapat dirasakan oleh mereka yang tinggal di kota kecil. Kalaupun ada, pasti kualitasnya tetap tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang ada di kota besar.
Saya bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Akuntansi di kota Pemalang, dimana pada masanya belum terdapat sekolah selevel SMA sederajat (seingat saya sudah ada, namun baru angkatan pertama) di desa saya dan hanya ada di kota, sementara saya tinggal di desa. Hal ini mengakibatkan saya harus menempuh perjalanan pulang pergi dari desa ke kota di mana sekolah tersebut berada. Dari desa sampai ke sekolah saya memiliki jarak kurang lebih 20-an kilometer, tapi jangan dibayangkan dengan jarak yang ada di Jakarta ya 😅. Jarak sejauh ini bisa ditempuh dengan waktu paling hanya 15 menitan lebih (jangan tanya itu sopirnya orang atau bukan ya). Jadi dulu jaman SMA, saya sering berani berangkat dari rumah jam 6:30-an dan biasanya baru dapat Bus jam 6:45-an. Sungguh masa-masa yang penuh dengan adrenalin 👻, tiap perjalanan bolak-balik, bisa sekalian olahraga pacu jantung… 🤯
Kalau ada yang tanya kenapa saya SMK dan Akuntansi pula jurusannya, jawabnya jelas karena saya sadar bahwa orang tua saya tidak akan mampu menyekolahkan saya ketingkat yang lebih tinggi lagi. Dan pilihan yang paling masuk akal adalah dengan memilih SMK dibandingkan SMA karena rumornya di SMK memang lebih dipersiapkan untuk bisa bekerja setelah lulus. Kenapa akuntansi? Ini juga bukan pilihan saya dari lubuk hati. Hanya saja pas pertama kali mendaftar di SMK, ada ujian masuk dan sepertinya mereka menetapkan jurusan berdasarkan hasil dari ujian tersebut, dan Akuntansi biasanya dihuni oleh teman-teman dengan hasil seleksi cukup bagus karena pada masanya jurusan Akuntasi masih menjadi primadona bagi SMK tersebut dan selalu kelebihan peminat.
💻 Saya dan komputer
Seingat saya, pertama kali saya memegang komputer mungkin saat masih bersekolah SMP. Itupun seingat saya cuma 1-2 kali sepanjang 3 tahun saya bersekolah di SMP. Pada masa itu tidak ada pelajaran komputer bagi saya dan teman-teman, tapi ada semacam les komputer di luar jam sekolah yang bisa diikuti oleh teman-teman sebaya saya.
Umumnya banyak temen-temen software engineer yang saya kenal memang mereka sudah bergelut dengan komputer sejak usia dini, atau paling tidak mereka sudah kenal dengan komputer dan bermain-main dengan komputer sejak usia dini. Saya sedikit berbeda dibandingkan mereka, jika buat saya, bisa sekolah sampai tingkat SMA saja sudah berkah yang tiada tara, maka jangan tanya apa saya punya komputer atau tidak di rumah. Jangan tanya juga apa saya sudah sering ketak-ketik keyboard komputer sejak dini. Komputer bagi saya pada masanya adalah barang mahal dan mewah, barang yang cuma orang-orang yang punya banyak uang yang bisa memilikinya. Satu-satunya tempat saya bisa duduk di depan komputer itu ya di sekolah SMK tersebut. Tapi ini hanya duduk ya, jangan dibayangkan saya duduk di depan komputer terus bisa berselancar kesana kemari di layar komputer 😩.
SMK tempat saya bersekolah memang termasuk beruntung karena memiliki lebih dari satu lab komputer, tapi ini juga tidak serta merta kami para siswa bisa seenak jidat main komputer. Kami bisa masuk ke ruangan ini paling hanya seminggu sekali, itupun kalau beruntung saya bisa duduk di depan komputer yang bisa menyala. Kalau sedang apes ya silahkan duduk dengan tenang di depan komputer dengan layar warna hitam ya.
⛳ Selesai 🖐️.
Belum ada kaitannya ya sama dunia Programmer 😂? Tapi mudah-mudahan cerita di bagian pertama bisa memberikan konteks mengenai bagaimana saya dibesarkan, bagaimana saya menempuh jalur pendidikan saya. Harapannya bisa menjadi sedikit perbandingan bagi teman-teman juga. Jangan kecil hati, terus semangat menjalani pendidikan kalian saat ini 💪.
Memang jalan hidup orang tidak sama, tiap orang punya jalannya masing-masing dan tidak perlu dibandingkan satu sama lain. Pun kalian tidak perlu malu kalau sekarang belum bisa A atau B, sementara kalian baca di artikel ini, saya telah bisa melakukan A dan B, atau keadaan yang sebaliknya. Nikmati saja proses belajarnya, ambil pelajaran baiknya, tinggalkan hal-hal buruk yang ada artikel ini. Jadikan tulisan ini cukup sebagai penambah semangat bagi kalian, bukan malah menjadi peluntur semangat.
Semangat berjuang, para pejuang pendidikan, para pejuang masa depan 🖐️.
📖 Baca juga bagian berikutnya: